Bismillahirrohmanirrohiim

Bismillahirrohmanirrohiim

Minggu, 20 April 2014

Renungan Aqidah



Isra Mi’raj, Teori Kuantum dan Ilmu Kecoa
Oleh : H. Jagarin Pane SE MM

Peristiwa monumental spektrum aqidah tanggal 27 Rajab adalah nilai kebenaran mutlak.  Memberangkatkan Nabi Muhammad SAW dari pusat gravitasi ibadah Masjidil Haram di Makkah Al Mukarramah menuju Baitul Maqdis di Palestina kemudian diteruskan ke Sidratul Muntaha, merupakan rangkaian perjalanan spektakuler yang melewati ambang batas logika kelimuan yang dimiliki manusia.

Dalam perkembangan ilmu fisika modern, peristiwa empat belas abad yang lalu telah dapat dibuktikan dibuktikan melalui teori kuantum.  Pembuktian ini telah dilakukan oleh ilmuwan AS Richard Feyman dan Dr Ivan Geiver, keduanya adalah pemenang Nobel Fisika. Teori kuantum dalam pengujian mereka dapat menjelaskan bahwa suatu partikel dapat dipindahkan menembus batas dinding tanpa mengalami kerusakan.  Dalam ujicoba berikutnya kedua Ilmuwan menjelaskan secara empiris bahwa teleportasi (perpindahan fisik seseorang) yang dapat menembus ruang pembatas adalah rasional.

Junjungan kita Nabi Muhammad SAW dengan kesempurnaan keimanannya dapat melakukan special treatment terhadap dirinya untuk mampu melewati batas energi ambang, mengalami derajat emanasi kemudian eksitasi dan akhirnya kuantum. Ketika melewati batas energi ambang ini terjadilah perubahan partikel diri menjadi susunan elektron yang tereksitasi sehingga terjadi loncatan secepat cahaya.

Dalam spektrum yang lain, istilah memberangkatkan terkait dengan ketersediaan wahana untuk keselamatan dan kecepatan perjalanan spektakuler itu. Dalam batas nilai tertinggi jangkauan ilmu pengetahuan manusia, hal itu sudah dapat dibuktikan.  Maka perjalanan semalam melewati jutaan kilometer menembus galaksi tata surya untuk menemui Sang Khalik, Allah Azza Wa Jalla adalah keniscayaan yang tak terbantahkan.  Ini pembuktian teori kuantum.

Teori kuantum menggambarkan loncatan kuanta energi yang disebut elektron dimana partikel ini dapat mengalami eksitasi akibat pengaruh getaran, pemanasan atau pemancaran. Sehingga terjadi  transfer energi elektromagnetik. Teori ini merupakan lanjutan teori Newton dan teori Einstein yang menggambarkan adanya hukum kekekalan energi.

Menjelaskan kekuatan ilmu pengetahuan untuk perkembangan ilmu itu sendiri haruslah dilhat dari perspektif adanya tambahan rumus sebab akibat yang dapat dijelaskan dari perkembangan rangkaian sebab akibat itu. Sebagai pijakan yang menjadi fundamen cara pandang, untuk memandang luasnya semesta ini, diperlukan konstitusi aqidah sebagai awal dan pengawal proses ilmu pengetahuan.  Allah Azza Wa Jalla  telah memberikan konstitusi itu kepada ummatnya, kitab suci rahmatan lil alamin Al Quranul Karim.

Al Quran banyak memberikan penjelasan historis jauh sebelum Nabi Muhammad lahir.  Dan sekaligus memberikan pula penjelasan perspektif yang dalam konteks ilmu pengetahuan “present tense” pada sejarah ilmu itu sendiri.  Ini menjadikan kita terpana dan terpukau karena belum terjangkau oleh kemampuan ilmu pengetahuan. Alam metafisika dan ghaib yang dijelaskan dalam firman Allah sudah banyak yang dapat dibuktikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Contohnya bulan yang pernah terbelah dapat dibuktikan kemudian dalam perjalanan ke bulan oleh astronot AS. Sayangnya banyak diantara kita yang hanya bisa membanggakan kemampuan ilmu pengatahuan dan berdiri hanya pada batas ilmu pengetahuan itu. Sehingga kita melupakan awal dan pengawal sumber ilmu pengetahuan, sumber kebenaran mutlak kumpulan firman Allah Al Quran.

Ada kisah menarik “pembicaraan” dua ekor kecoa di Bandara Soekarno Hatta Jakarta ketika keduanya bertemu di koridor pengambilan bagasi.  Satu kecoa berasal dari Medan, yang satunya kecoa Bandara itu.

“Hai pa kabar” kata kecoa Medan
“Hi, sok kenal lu” kata kecoa Jakarta
“Kenalan dong” kata kecoa tamu sambil menyodorkan misainya
“Aku ini ada dimana ya” lanjutnya dengan logat Medan
“Belagu lu, ini Jakarte tau”
“Perasaanku tiga jam yang lalu aku ada di Medan”
“Emang Medan itu ada dimane” kata kecoa ibukota
“Ya di Medan lah, soalnya ketika pak Jagarin membawa kopernya yang lupa dibersihkan, aku ada didalamnya dan gak sempat keluar”
“Pak Jagarin itu siapa sih” kata kecoa Bandara melongo
“Nah ketahuan begonya kau, dia itu yang nulis cerita ini”
“Au ah gelap, lu mau ngomong apa kek, emang gue pikirin” kata kecoa Jakarta sambil ngeloyor pergi menyelinap celah koridor bagasi.

Di celah itu kecoa ibukota merenung sesaat, mana mungkin temannya itu datang dari Medan menyeberangi ribuan kilometer darat dan menyeberangi laut, pikirnya. Dan setelah dia “olah pikir” sampai pening tak ketemu jua jawabannya sehingga dia tiba pada satu kesimpulan bahwa kecoa Medan itu hanya bohong doang.

Maka demikianlah Allah Azza Wa Jalla mendefinisikan ilmu pengetahuan kita yang menurut kita sudah paling unggul, paling terkini, modern dan perkasa.  Ketika jangkauan ilmu manusia belum mampu membuktikan berapa sebenarnya jumlah planet di galaksi tata surya, Allah sudah mengatakan jauh-jauh hari bahwa dalam pandanganNya ilmu pengetahuan kita baru setetes air di samudera luas. Bahkan dalam pencarian MH370 saja segala upaya teknologi terkini yang dimiliki manusia belum mampu menemukan raibnya pesawat naas itu.  Maka celakalah orang yang menuhankan ilmunya.

Sesungguhnya ilmu pengetahuan itu adalah eksperimen dan proses internal dari perkembangan budaya yang memerlukan pembuktian untuk dapat diyakini panca indra dan logika.  Padahal pancaindra itu “jarak pandangnya” terbatas. Sehingga ketika kita berada di luar jarak pandangnya, menjadi irasional dan nisbi. Demikian juga dengan logika yang selalu bermain di formula pembuktian, ketika belum dapat dibuktikan dianggap tidak logis. Dengan begitu marilah kita membaca dan menelaah Al Quran untuk mencerdaskan nur’aini dan rohani.  Agar kita tidak terbodohi dengan kebanggaan ilmu pengetahuan dan melupakan awal dan pengawal ilmu pengetahuan Al Quran.

Subhanallah, betapa luasnya karya ciptaMu membentang vertikal dan horizontal.  Sampai hari ini kami belum dapat menjangkau tepian akhir galaksiMu yang demikian mahanya. Bahkan kami pun belum dapat membuktikan mengapa bumi tempat kami bermukim menggantung tanpa gaya berat. Ya Rabb, semua itu adalah qodrat dan iradatMu, semua itu adalah bagian dari penciptaanMu, sehingga tidak Engkau jadikan kami memiliki ilmu kecoa, sehingga tidak Engkau jadikan kami kecoa, dan kami memang bukan kecoa karena kami adalah makhlukMu yang paling mulia dengan jabatan khalifah fil ardhi. Subhanallah walhamdulilah walailaha ilallah wallahu akbar.


****
Semarang, 17 April 2014