Ahlusunnah wal Jamaah atau yang sering disingkat
Aswaja secara sederhana dapat diartikan sebagai kelompok yang mengikuti sunnah
Nabi dan ajaran para sahabat Nabi yang merupakan santri nabi itu sendiri.
Aswaja oleh sebagian orang sering dianggap sebagai madzhab, sebagian lainnya
lagi menyebutnya sebagai manhajul fikr (metode berfikir). Untuk sementara saya memakai pengertian
yang kedua (dengan berbagai peradabannya).
Aswaja sebagai manhajul fikr adalah respon
para sahabat atas situasi umat yang kacau pada saat itu. tidak dapat dipungkiri
bahwa kemunculan firqah-firqah (kelompok mazhab Islam) banyak dilatar
belakangi oleh situasi politik umat Islam saat itu.
Setelah wafatnya Nabi, para pemimpin Muslim
harus menentukan bentuk umat seperti apa yang harus mereka pilih. Sebagian
mungkin tidak percaya jika harus ada “negara” dengan demikian tidak perlu satu
pimpinan untuk memimpin keseluruhan suku dan kelompok pada saat itu. Sementara
sebagian yang lain seperti Abu Bakar dan Umar berpendapat bahwa umat harus
memiliki satu pemimpin sebagaimana pada saat Nabi. Sementara sebagian yang
lainnya lagi percaya bahwa Ali bin Abi Thalib yang paling berhak atas tampuk
kepemimpinan setelah Nabi. Di Arab yang menganggap bahwa ikatan darah sangat
sakral, kualitas pemimpin dipercaya akan diwariskan kepada keturunannya dan
sebagian warga Muslim percaya bahwa Ali telah mewarisi sebagian kharisma khusus
Muhammad.
Pada akhirnya, walaupun kesalehan Ali tidak
diragukan lagi, tetapi dia masih sangat muda dan belum berpengalaman. Dengan
demikian, Abu Bakar dipilih menjadi khalifah pertama Nabi melalui suara
mayoritas. Meski singkat, suasana politik dan kepemimpinan terbilang cukup
stabil, hingga sampai pada masa Umar dan Utsman di mana situasi politik tidak
stabil, yang membuat keduanya mati dibunuh. Hingga tiba pada masa kepemimpinan
Ali sebagai klimaks dari situasi politik yang tidak stabil pada era sebelumnya.
Ali menghadapi situasi yang sulit, ia harus
menghadapi kelompoknya sendiri, serta kelompok pemberontak lainnya yang tak
suka dan puas dengan kepemimpinannya. Ali harus menghadapi Aisyah dalam perang
Jamal. Lalu menghadapi Muawaiyah dalam perang Shiffin. Dalam situasi ini
Muawiyah yang menyadari kekalahannya kemudian memainkan peran politiknya. Ia
menancapkan Al-Qur’an di tombak sebagai bentuk perdamaian dengan Ali. Di pihak
Ali terpecah dalam menyikapi ini, pada akhirnya terjadilah arbitrase di mana
Muawiyah secara ambisius mengambil alih kekuasaan dari Ali.
Kelompok loyalis Ali kemudian terpecah. Mereka
yang setia dengan Ali disebut Syiah dan kelompok yang semula setia pada Ali
lalu keluar dari barisannya karena merasa tidak puas dengan arbitrase dan
menganggap Ali telah berlaku khianat terhadap hukum Allah disebut sebagai
Khawarij (ekstremis).
Situasi politik yang kacau, sementara
masing-masing pihak saling tuding, menambah rumit kondisi umat. Barisan setia
Ali merasa Ali-lah yang paling berhak atas kepemimpinan dan merasa telah
dibohongi serta dikhianati oleh pihak Muawiyah. Sementara pihak Muawiyyah
sebaliknya merasa Muawiyah adalah pemimpin yang sah dan arbitrase adalah
keadaan yang sudah ditakdirkan oleh Allah untuknya sehingga tidak boleh
digugat, yang menggugat berarti melawan Allah. Di sisi lain kelompok Khawarij
menganggap kedua belah pihak adalah thagut dan telah kafir dari hukum Allah
sehingga halal darahnya (dibunuh).
Khawarij menghendaki kedua orang tersebut harus
diperangi, hal ini sesuai doktrin mereka “la hukma illa lillah”, tidak ada
hukum kecuali hukum Allah. Doktrin ini kerap kali digunakan oleh kelompok
ekstremis dewasa ini. Pada dasarnya teks tersebut berbicara benar, namun
interpretasi atas teks tersebut kemudian yang salah. Singkatnya, terjadilah
konsfirasi untuk membunuh Ali dan Muawiyah yang pada akhirnya berhasil membunuh
Ali, sedang Muawiyah lolos dari usaha pembunuhan tersebut.
Situasi yang kacau, saling menyalahkan,
memfitnah dan membunuh saat itu memunculkan sekelompok orang yang memiliki
pemikiran untuk menjaga peradaban dan keamanan umat. Bagi kelompok tersebut,
situasi chaos jika tetap dibiarkan akan menyengserakan umat dan membawa
umat pada kemunduran dan kehancuran. Karena hal itulah perlu usaha untuk
menjaga kemananan dan menyelamatkan peradaban umat.
Cara berpikir demikianlah yang disebut dengan
Aswaja sebagai manhajul fikr. Kata
Aswaja sendiri memang belum ada pada masa Nabi ataupun masa awal kekhalifahan
yang empat. Namun orang-orang yang memiliki cara berpikir ala Aswaja telah ada
pada masa itu. Bagi kelompok Aswaja, situasi yang terjadi setelah wafat Nabi di
Tsaqifah antara Abu Bakar, Umar dan beberapa tokoh sahabat yang lain adalah
salah satu bentuk dari upaya ijtihad politik.
Dalam hal ini, ijtihad politik dipandang secara
akomodatif, dimana hasil ijtihad yang benar maka berpahala dua, namun jika
salah maka pahalanya satu. Dengan demikian kelompok yang berpikir dengan
prinsip Aswaja ini melihat perdebatan panjang yang terjadi mengenai siapa yang
paling berhak atas kepemimpinan setelah Nabi lebih bersifat terbuka, dinamis
dan toleran. Cara berpikir di atas juga diterapkan dalam kasus arbitrase antara
Ali dan Muawiyah, dan hal ini tentu berbeda dengan cara pandang kelompok
Khawarij yang sangat ekstremis, kelompok Ali yang sangat sektarian dan begitu
juga dengan kelompok Muawiyah.
Cara berpikir dengan prinsip Aswaja ini kemudian
diadopsi oleh Nahdhatul Ulama (NU) di Indonesia. NU yang bermazhab Sunni
memakai prinsip Aswaja dalam merumuskan kultur gerakan dan keagamaannya. Karena
hal yang demikian pula NU seringkali dituding sebagai kelompok yang oportunis,
hal ini bisa diterima karena mereka yang menganggap demikian tidak memahami NU
dan keAswajaannya, padahal oportunisme dengan prinsip keAswajaan NU sangatlah
berbeda.
Aswaja sebagai manhajul fikr adalah upaya
dari cara berpikir yang bertujuan menjaga peradaban dan stabilitas keamanan
manusia di muka bumi. Aswaja menolak cara-cara berpikir dan bertindak licik,
kasar, merusak, intoleran serta hal-hal yang membawa pada chaos dan
kemudharatan. Karena itu kelompok Aswaja, misalnya NU sebagai prototype Islam Aswaja
di Indonesia sangat teguh menjaga tradisi sembari terus mengikuti perkembangan
zaman (al-muhafazhatu alal qadimis-shalih wal akhdzu bil jadidil-ashlah).
Tidak hanya itu, bahkan tidak hanya menjaga dan mengambil, Aswaja juga
menghendaki produksi dan kreativitas setiap saat dalam hal-hal positif (al-ijad).
Konsep Aswaja oleh NU kemudian ditelurkan
menjadi beberapa nilai, selain nilai kuliyah al-khamsah yang sudah diyakini
sebelumnya dalam Islam secara kesuluruhan, nilai-nilai itu antara lain, tawasuth (moderat)
seorang Muslim haruslah dapat bersikap moderat tidak timpang dalam menyikapi
persoalan, tasamuh(toleran)
seorang Muslim haruslah bersikap toleran dengan cara menghargai orang atau
kelompok lain di luar dirinya sebagaimana ia menghargai diri dan kelompoknya
sendiri, tawazun (imbang) seorang Muslim harus berimbang dan mampu menakar
setiap persoalan sesuai timbangannya tidak curang dan zalim, dantaaddul (adil) seorang
Muslim harus mengedepankan keadilan, keadilan harus diperjuangkan dan
ditegakkan dalam segala hal dan kondisi dalam melihat persoalan apapun.
***
Deni Gunawan / Penulis adalah aktivis PMII Cabang Jakarta Selatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar