Bismillahirrohmanirrohiim

Bismillahirrohmanirrohiim

Selasa, 01 Agustus 2017

Forum FKUB Kota Semarang



Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kota Semarang, dialog internal ummat Islam yang dilaksanakan hari Ahad malam tanggal 30 Juli 2017 di Hotel Siliwangi Semarang diikuti seluruh ormas Islam yang ada di Semarang.



Aspirasi Nahdlatul Ulama

Narasi / Paparan Dalam Acara FKUB Kota Semarang Tanggal 30 Juli 2017 di Hotel Siliwangi mewakili suara Nahdlatul Ulama Kota Semarang

Bhinneka Proporsional, Menghargai Mayoritas

Oleh : H. Jagarin Pane SE MM

Takdir sejarah dan eksistensi bangsa Indonesia yang sekaligus menjadi patron kebanggaannya adalah kebhinnekaan. Sebuah negara kepulauan terbesar di dunia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sekaligus sebagai umat Islam terbesar di dunia. Kerukunan antar umat beragama dapat terjaga dengan baik berkat peran besar sang mayoritas yang mampu mengedepankan semangat beragama dengan sinar rahmatan lil alamin.

Dalam perjalanannya kemudian kebhinnekaan kita yang dijaga dengan etika mengedepankan proporsionalitas sebagai bingkai warna keberagaman mulai terusik dengan semangat bhinneka yang melebihi kontrol proporsional. Contohnya pengisian jabatan struktural di pemerintahan yang disinyalir memarginalkan umat Islam, dengan dalih atas nama kompetisi dan kompetensi seperti yang terjadi di KPK dimana pimpinannya mayoritas non Muslim. Ditempat-tempat lain di struktur pemerintahan juga banyak terjadi. Yang paling terang benderang adalah upaya pemurtadan yang  saat ini terjadi dimana-mana.

Contoh lain adalah dalam pertemuan berkala tokoh agama dan tokoh masyarakat (PETAMAS) se kota Semarang yang diadakan Kesbangpol Kota Semarang secara berkala.  Sangat baik sebagai forum komunikasi tatap muka dan silaturrahim antar umat beragama di kota lumpia ini. Namun dalam pertemuan yang diadakan sebelum Ramadhan 1438 H yang lalu, di Hotel Puri Garden Semarang yang juga dihadiri Walikota Semarang terlihat sebuah suasana kebhinekaan yang tidak proporsional. Matakin yang menjadi host dan tuan rumah acara mengemas materi acara tidak menghargai keberadaan mayoritas.

Semua rangkaian kegiatan acara didominasi dengan menampilkan gaya beragama sepihak. Puncaknya ketika dilakukan pembacaan doa, kita bisa menyaksikan cara berdoa yang diharuskan dengan cara mereka. Padahal undangan yang hadir mayoritas Islam. Ini menurut pandangan kita merupakan blunder karena secara etika sangat wajar kalau mekanisme doa dilakukan secara agama Islam atau paling tidak bersifat netral dengan cara berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing.

Pada acara sesi diskusi, hal itu sempat ditanyakan oleh perwakilan MUI dan NU kota Semarang. Kita sangat menyayangkan acara forum pertemuan tokoh agama dan tokoh masyarakat seperti itu dikemas dalam satu warna minoritas yang paling minoritas. Jadilah seperti sebuah pameran acara keagamaan tertentu dan kita diharuskan mengikutinya sampai selesai. Harusnya mengedepankan etika bhinneka proporsional untuk menghargai mayoritas. Itu bagian dari mekanisme toleransi minoritas terhadap mayoritas. Jangan hanya menuntut toleransi kepada mayoritas tetapi justru tidak toleran terhadap mayoritas.

Kita menginginkan agar dalam mengemas acara apapun baik yang dikelola unsur pemerintahan, maupun pihak swasta tetap mengedepankan suara mayoritas Islam utamanya dalam mekanisme pembacaan doa. Kota Semarang mayoritas beragama Islam, sangat pantas agama mayoritas ini mendapat porsi dan tempat dalam setiap pembacaan doa untuk kegiatan apapun.

Umat Islam yang ada di Manado, Kupang atau Papua tidak mempermasalahkan persoalan pembacaan doa dalam setiap acara kegiatan di daerahnya dengan cara non Muslim.  Itu karena memang kita minoritas disana. Tetapi di kota Semarang hal itu tidak boleh terjadi. Tugas kita bersama adalah melakukan koreksi terhadap upaya-upaya yang terukur dan sistematis untuk memarginalkan umat Islam, salah satu diantaranya dalam soal pembacaan doa.

Peran MUI tingkat kecamatan perlu diperluas utamanya dalam menjaga umat dari upaya pemurtadan. MUI kecamatan perlu diberikan porsi anggaran untuk menggerakkan roda organisasi dan mengawal umat. Tidak hanya membentengi umat dari upaya pemurtadan namun juga memelihara semangat beragama dari para Muallaf dengan penuh perhatian. Untuk yang terakhir ini kita mengapresiasi upaya Kemenag kota Semarang yang telah melaksanakan kegiatan pengajian rutin berkala dan bantuan untuk para Muallaf di tingkat kecamatan kota Semarang.

Bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan beragama dan kebebasan dalam berdemokrasi tidak lantas mengabaikan etika kebersamaan sebagaimana kultur dan persaudaraan kita. Islam sebagai agama mayoritas di negeri ini dan diakui oleh seluruh dunia sebagai agama berwajah senyum rahmatan lil alamin, sangat toleran terhadap agama dan kepercayaan lain. Tetapi sikap moderat ini jangan lantas dianggap enteng dan lalu meremehkan kita. Kemudian mengemas forum acara berdasarkan kehendak sepihak seperti yang terjadi di forum PETAMAS kota Semarang beberapa bulan yang lalu.

Maka ke depan kita sebagai mayoritas harus punya sikap kritis terhadap upaya-upaya marginalisasi yang memang selalu diupayakan termasuk upaya-upaya pemurtadan yang semakin menguat terang benderang. Kita berharap FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama) kota Semarang mampu menyuarakan aspirasi ini secara terang benderang dan terus menerus. Bahwa bingkai toleransi dan kebersamaan selama ini jangan kemudian dijadikan celah untuk melakukan model dan metode siasat beragama yang diluar etika proporsional.

Semarang 30 Juli 2017