Narasi / Paparan Dalam Acara FKUB Kota Semarang Tanggal 30 Juli 2017 di
Hotel Siliwangi mewakili suara Nahdlatul Ulama Kota Semarang
Bhinneka Proporsional, Menghargai Mayoritas
Oleh : H. Jagarin Pane SE MM
Takdir sejarah dan eksistensi bangsa Indonesia yang
sekaligus menjadi patron kebanggaannya adalah kebhinnekaan. Sebuah negara
kepulauan terbesar di dunia yang mayoritas penduduknya beragama Islam,
sekaligus sebagai umat Islam terbesar di dunia. Kerukunan antar umat beragama
dapat terjaga dengan baik berkat peran besar sang mayoritas yang mampu
mengedepankan semangat beragama dengan sinar rahmatan lil alamin.
Dalam perjalanannya kemudian kebhinnekaan kita yang
dijaga dengan etika mengedepankan proporsionalitas sebagai bingkai warna
keberagaman mulai terusik dengan semangat bhinneka yang melebihi kontrol
proporsional. Contohnya pengisian jabatan struktural di pemerintahan yang
disinyalir memarginalkan umat Islam, dengan dalih atas nama kompetisi dan
kompetensi seperti yang terjadi di KPK dimana pimpinannya mayoritas non Muslim.
Ditempat-tempat lain di struktur pemerintahan juga banyak terjadi. Yang paling
terang benderang adalah upaya pemurtadan yang
saat ini terjadi dimana-mana.
Contoh lain adalah dalam pertemuan berkala tokoh agama
dan tokoh masyarakat (PETAMAS) se kota Semarang yang diadakan Kesbangpol Kota
Semarang secara berkala. Sangat baik
sebagai forum komunikasi tatap muka dan silaturrahim antar umat beragama di
kota lumpia ini. Namun dalam pertemuan yang diadakan sebelum Ramadhan 1438 H
yang lalu, di Hotel Puri Garden Semarang yang juga dihadiri Walikota Semarang
terlihat sebuah suasana kebhinekaan yang tidak proporsional. Matakin yang
menjadi host dan tuan rumah acara mengemas materi acara tidak menghargai keberadaan
mayoritas.
Semua rangkaian kegiatan acara didominasi dengan menampilkan
gaya beragama sepihak. Puncaknya ketika dilakukan pembacaan doa, kita bisa menyaksikan
cara berdoa yang diharuskan dengan cara mereka. Padahal undangan yang hadir
mayoritas Islam. Ini menurut pandangan kita merupakan blunder karena secara
etika sangat wajar kalau mekanisme doa dilakukan secara agama Islam atau paling
tidak bersifat netral dengan cara berdoa menurut agama dan kepercayaan
masing-masing.
Pada acara sesi diskusi, hal itu sempat ditanyakan oleh perwakilan
MUI dan NU kota Semarang. Kita sangat menyayangkan acara forum pertemuan tokoh
agama dan tokoh masyarakat seperti itu dikemas dalam satu warna minoritas yang
paling minoritas. Jadilah seperti sebuah pameran acara keagamaan tertentu dan
kita diharuskan mengikutinya sampai selesai. Harusnya mengedepankan etika
bhinneka proporsional untuk menghargai mayoritas. Itu bagian dari mekanisme
toleransi minoritas terhadap mayoritas. Jangan hanya menuntut toleransi kepada
mayoritas tetapi justru tidak toleran terhadap mayoritas.
Kita menginginkan agar dalam mengemas acara apapun baik
yang dikelola unsur pemerintahan, maupun pihak swasta tetap mengedepankan suara
mayoritas Islam utamanya dalam mekanisme pembacaan doa. Kota Semarang mayoritas
beragama Islam, sangat pantas agama mayoritas ini mendapat porsi dan tempat
dalam setiap pembacaan doa untuk kegiatan apapun.
Umat Islam yang ada di Manado, Kupang atau Papua tidak
mempermasalahkan persoalan pembacaan doa dalam setiap acara kegiatan di daerahnya
dengan cara non Muslim. Itu karena
memang kita minoritas disana. Tetapi di kota Semarang hal itu tidak boleh
terjadi. Tugas kita bersama adalah melakukan koreksi terhadap upaya-upaya yang
terukur dan sistematis untuk memarginalkan umat Islam, salah satu diantaranya
dalam soal pembacaan doa.
Peran MUI tingkat kecamatan perlu diperluas utamanya
dalam menjaga umat dari upaya pemurtadan. MUI kecamatan perlu diberikan porsi
anggaran untuk menggerakkan roda organisasi dan mengawal umat. Tidak hanya
membentengi umat dari upaya pemurtadan namun juga memelihara semangat beragama
dari para Muallaf dengan penuh perhatian. Untuk yang terakhir ini kita
mengapresiasi upaya Kemenag kota Semarang yang telah melaksanakan kegiatan
pengajian rutin berkala dan bantuan untuk para Muallaf di tingkat kecamatan
kota Semarang.
Bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan beragama
dan kebebasan dalam berdemokrasi tidak lantas mengabaikan etika kebersamaan
sebagaimana kultur dan persaudaraan kita. Islam sebagai agama mayoritas di
negeri ini dan diakui oleh seluruh dunia sebagai agama berwajah senyum rahmatan
lil alamin, sangat toleran terhadap agama dan kepercayaan lain. Tetapi sikap
moderat ini jangan lantas dianggap enteng dan lalu meremehkan kita. Kemudian mengemas
forum acara berdasarkan kehendak sepihak seperti yang terjadi di forum PETAMAS
kota Semarang beberapa bulan yang lalu.
Maka ke depan kita sebagai mayoritas harus punya sikap
kritis terhadap upaya-upaya marginalisasi yang memang selalu diupayakan
termasuk upaya-upaya pemurtadan yang semakin menguat terang benderang. Kita
berharap FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama) kota Semarang mampu menyuarakan
aspirasi ini secara terang benderang dan terus menerus. Bahwa bingkai toleransi
dan kebersamaan selama ini jangan kemudian dijadikan celah untuk melakukan
model dan metode siasat beragama yang diluar etika proporsional.
Semarang 30 Juli 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar