Nasehat
dinihari itu adalah ruang kebeningan paling indah dan senyap, begitu Kyai
memulai lantunan kalimatnya, ketika para santri menyelesaikan sembah sujudnya
di selimut dinihari sebuah Jumat. Ini
kebiasaan yang menjadi tatacara keseharian, bangun jam 03.00 sampai menjelang
subuh diisi dengan kalimat-kalimat barokah dan hidayah. Terbiasa yang menjadi
kebiasaan untuk menguatkan fikroh dan ghiroh based on mauidoh.
Mengapa ketika
kalimat-kalimat tausiyah diperdengarkan berulang-ulang tetapi banyak orang
gagal mendatangi rumah Allah untuk sholat berjamaah atau berperan serta
membaguskan rumah Allah. Jawabnya sederhana, kata Kyai, karena tidak ada fikroh
dan ghiroh yang tersaring di hatinya. Rekaman-rekaman akidah yang dimulai sejak
kecil minim volume sehingga ketika dewasa dan tua menjadi barisan paling
belakang untuk beramaliyah.
Kita ini
beruntung tinggal di pesantren yang ada Masjid sejarahnya. Dimana-mana jika ada
Masjid bersejarah di sebuah lingkungan, maka lingkungannya ikut manjadi
“Kauman” alias banyak yang pintar mengaji, memakmurkan Masjid dan berakhlak
mulia. Nah, jka ada Masjid bermarwah, punya karomah tapi di lingkungannya tidak
terbangun masyarakat berkarakter santri sepanjang usia Masjid itu, pasti
ada anomali sejarah di lingkungan itu.
Something wrong
kata Kyai melanjutkan. Pasti ada yang salah, apa itu, boleh jadi dulu-dulunya tidak
ada yang mau mengajarkan Al Quran. Tidak ada yang mengajarkan sikap rendah
hati, toleran dan sederhana. Yang diajarkan mungkin saja sikap angkuh, merasa
paling bisa dan merasa dari keluarga terhormat. Keluarga dan turunannya
dibangun dengan semangat tinggi hati, angkuh, egois dan merasa yang paling
paham agama. Jadilah lingkungan anomali,
ada peminum, penjudi dan ahli maksiat. Lingkungan seperti ini tak mungkin bisa
memakmurkan Masjid.
Bisa jadi juga
karena basis keluarga yang dibangun tidak sesuai tuntunan. Misalnya ingin
berkeluara, punya istri tetapi bertahun-tahun tak punya anak. Lalu cari istri
kedua tanpa melihat bibit bebet dan bobot, yang penting bisa punya anak.
Akhirnya dapat perempuan pelacur. Kumpul kebo dulu baru dinikahi karena sudah
yakin bisa dapat anak. Dalam perjalanannya ternyata si istri hobbynya
berselingkuh karena profesi lama dan si suami tak berdaya karena miskin religi
dan miskin wawasan.
Mengapa itu
bisa terjadi, jawabnya jelas kurang memahami agama. Tak bisa ngaji Al Quran,
kurang wawasan dan - ini yang terpenting - rekaman akidahnya tidak mencerminkan
fikroh dan ghiroh al islam. Jadi seperti jalan cerita sinetron, semrawut pola
pikir dan tindaknya, istri selingkuh lingkungan dibuat gaduh. Ironinya lagi
Masjid yang nota bene tempat beribadah yang sudah panjang usianya dijadikan
sumber fitnah, lalu koar-koar dan bilang : dulu ada yang menjadi Takmir, waktu
mati kuburannya tidak muat.
Astaghfirullah.
Orang berkarakter
begini sebenarnya seperti pepatah menepuk air didulang kena muka sendiri.
Perjalanan hidupnya yang tak terarah, modal pengetahuan agamanya yang minim
ditutupi dengan hobby menghasut dan mengklaim, menuduh orang maksiat padahal
rumahnya sendiri penuh dengan maksiat. Mengapa ini bisa terjadi jawabnya mudah
saja minim pendidikan, minim wawasan, minim pengetahuaan agama. Jadi serba
minimalis.
Maka, para
santri yang masih remaja, kata sang Kyai, isilah hati nuranimu dengan rekaman
akidah, dengan rekaman kalimat barokah, dengan lantunan bahasa karomah.
Pelajari Al Quran dan Al hadits, kembangkan amaliyah annahdilyah sebagai
penguat fkroh dan ghiroh. Perkuat juga wawasan teknologi, ilmu pengetahuan dan
wawasan kebangsaan. Sehingga ketika kita dewasa nanti lalu menemukan sebuah
lingkungan yang penuh maksiat kita mampu berjalan dan menjalaninya dengan
amanah, istiqomah dan fathonah.
Kalian akan
beranjak dewasa, jadilah seperti ikan di laut. Meski air lautnya asin, ikannya
tetap tawar. Bergaullah dengan orang yang setara wawasan akidahnya. Kalau kita
bergaul dengan komunitas peminum, penjudi, ahli maksiat, ahli fitnah maka ujian
terberatnya adalah menjaga amanah dan istiqomah kita. Maka upaya yang paling pas adalah hindari
komunitas jahiliyah itu. Hidayah adalah hak prerogatif Allah, maka nasehat
dinihari seperti ini adalah dalam rangka memeluk hangat hidayah yang sudah kita
genggam. Semoga barokah.
Semarang, 20 Agustus 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar